Selasa, 28 Juni 2011

Perkebunan Mandiri dalam Industri Kelapa Sawit

Pendahuluan

Keadilan, kedaulatan, keberlanjutan, kemandirian, dan lain-lainnya adalah kata yang sering kita dengar dan diungkapkan oleh politisi sampai aktivis. Kata-kata tersebut indah dan menyenangkan sehingga kesadaran kita dininabobokan. Hampir semua politisi sampai aktivis sering menggunakan kata-kata tersebut. Semua orang bersepakat dan tidak mendebat kata-kata tersebut. Pertanyaannya, bagaimana mengimplentasikannya kata-kata tersebut. Disinilah berbagai pihak akan berdebat.

Salah satu kata yang ingin penulis elaborasi disini adalah persoalan kemandirian. Bung Karno sendiri mengungkapkan persoalan kemandirian dengan kata berdikari, atau berdiri di kaki sendiri, dalam pidatonya ‘Tjapailah bintang-bingtang dilangit!’ bertema TAKARI—tahun berdikari tanggal 17 Agustus 1965, Bung Karno mempertegas tentang demokrasi ekonomi di Indonesia.

Berhubungan dengan perkebunan kelapa sawit, adalah penting, bagaimana kemandirian di perkebunan kelapa sawit. Apakah perkebunan yang dibangun saat ini sudah menumbuhkembangkan kemandirian. Siapa yang ingin dimandirikan, Apakah pekebun mandiri? Atau siapa? Bagaimana skenario-skenario agar lahir pekebun-pekebun mandiri. Tulisan ini berkeinginan mendiskusikan hal-hal ini.

Sejarah Perkebunan Kelapa Sawit

Dalam sejarah perkebunan di Indonesia, perkebunan rakyat kelapa sawit baru muncul belakangan dibanding perkebunan rakyat komoditas lain seperti karet, lada, dan kopi. Pada awalnya kelapa sawit hanya diusahakan oleh perkebunan besar baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun oleh perusahaan swasta (Soetrisno: 1991). Salah satu sebabnya yang paling penting adalah bahwa membangun perkebunan kelapa sawit membutuhkan modal uang dan teknologi yang sangat mahal. Teknologi processing minyak sawit masih merupakan teknologi yang hanya bisa dibeli dan dikuasai oleh perkebunan besar. Namun seiring dengan perkembangan waktu, rakyat di sekitar lingkungan perkebunan besar mulai dapat belajar menanam kelapa sawit kemudian hasilnya dijual kepada perusahaan besar.

Jika pada awalnya jenis perkebunan besar dan perkebunan rakyat kelapa sawit berjalan sendiri-sendiri secara terpisah. Dalam perkembangan selanjutnya terutama sejak tahun akhir tahun 1970-an, hubungan antara keduanya mulai mengalami interaksi yang intensif. Hal ini antara lain didorong oleh program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) atau Nucleus Estate And Smallholder Development Project (NES) dikembangkan pemerintah pada akhir tahun 1980-an. Bahkan dengan serangkaian program PIR BUN, KKPA dengan bantuan modal asing, maka muncul percepatan pembukaan areal-areal baru, termasuk yang dikaitkan dengan program transmigrasi oleh pemerintah. Secara definitif kemudian istilah perkebunan rakyat mengacu kepada kedua jenis pekebun tersebut, baik yang berasal dari inisiatif rakyat sendiri maupun dari hasil program yang dikembangkan pemerintah.

Dalam perhitungan luas areal kebun sawit, maka luas areal pada ketiga kategori perkebunan (perkebunan rakyat, perkebunan swasta, dan perkebunan nasional) tersebut selama 25 tahun terakhir mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dari segi persentase, perkembangan paling tinggi justru pada perkebunan rakyat. Jika pada tahun 1980 luas areal perkebunan rakyat baru 6 ribu hektar, maka pada tahun 2000 menjadi 1.167 ribu hektar, dan meningkat lagi di tahun 2005 menjadi 1.917 ribu hektar. Jika di tahun 1980 luas areal perkebunan rakyat hanya mencakup 2,1% dari total areal kelapa sawit nasional, maka pada tahun 2005 menjadi 34,3%.

Sebenarnya model kategori perkebunan di Indonesia bilamana dilihat lebih mendalam terbagi menjadi dua kategori yakni pertama, perkebunan besar yang dimiliki oleh perkebunan nasional dan perkebunan swasta dan kedua, perkebunan kecil yang dimiliki oleh rakyat. Bila kita tengok sejarah, perkebunan-perkebunan nasional adalah hasil nasionalisasi dari perkebunan-perkebunan swasta asing di waktu Pemerintahan Soekarno. Untuk lebih ‘menggampangkan’ maka pembagian kategori perkebunan dilakukan menjadi tiga bukan dua yakni perkebunan nasional, perkebunan swasta, dan perkebunan rakyat.

Jika melihat perkembangan luas areal perkebunan rakyat sebagaimana tergambar dalam tabel 1, maka akan timbul kesan bahwa perkebunan rakyat mengalami percepatan yang lebih tinggi ketimbang jenis perkebunan lain. Rata-rata perkembangan luas areal untuk perkebunan rakyat mencapai 27,1% atau di atas rata-rata pertumbuhan areal nasional sebesar 12,9%, sedangkan perkebunan swasta dan nasional masing-masing hanya sebesar 15,6% dan 5,2%. Namun kalau dilihat dari sifat perkebunan rakyat sebagaimana ciri awal (gagasan awal perkebunan rakyat senantiasa dikaitkan dengan kontrol rakyat terhadap aset-asetnya, teknik budidaya dan pengembangannya, kelembagaannya, serta kejelian rakyat dalam melihat pasar) yakni “kebebasan dan otonomi” mereka menanam atas inisiatif sendiri, maka peningkatan besaran 27,1% pertahun atau luasan 1,9 juta hektar pada tahun 2005, memunculkan pertanyaan berapa persenkah yang masih tetap memiliki ciri-ciri awal perkebunan rakyat. Mempersoalkan hal ini sangat penting mengingat inisiatif program pengembangan PIR sebenarnya merupakan program yang didorong dari “luar” pelaku perkebunan rakyat itu sendiri, meskipun dalam inisiasi programnya bertujuan untuk meningkatkan peranan perkebunan rakyat sebagai soko guru perekonomian nasional.

Pekebun Mandiri

Merujuk berbagai dokumen resmi, maka istilah pekebun mandiri dapat segera bisa dikenali dengan menyebutnya sebagai bagian perkebunan rakyat yang tidak memiliki keterkaitan dengan perusahaan. Kelompok ini berbeda dengan perkebunan besar swasta ataupun perkebunan besar nasional. Berbeda pula dengan petani plasma, dimana biasanya dikaitkan dengan perusahaan negara (BUMN), dan swasta nasional ataupun asing. Yang membedakan diantara ketiganya antara lain adalah dari segi skala usaha, dimana pekebun mandiri pada umumnya dimiliki oleh individu-individu dengan luas lahan sempit, sedangkan perkebunan swasta atau nasional diusahakan dalam skala usaha yang besar.
Ada lima kelompok yang menjadi stakeholder di tingkat desa bisa disebutkan sebagi berikut (Vermeulen, 2006) yaitu:

Masyarakat yang terpengaruh yaitu orang atau sekelompok orang yang mendapatkan dampak dari aktifitas di sektor sawit, baik penduduk asli maupun pendatang.
Para pemilik tanah. Di sejumlah desa seluruh penduduk yang terlibat dalam perkebunan sawit memiliki tanah baik yang diakui oleh Negara maupun yang secara turun temurun diakui oleh komunitas desa. Didesa yang lain terdapat juga sejumlah warga yang tidak memiliki lahan.
Penyedia Jasa dan Pekerja. Mereka bekerja mendapatkan upah dari sektor kelapa sawit, baik perkebunan swasta, perkebunan Negara, maupun bekerja pada pekebun lahan sempit.
Pekebun kecil yang disupport. Mereka adalah para pekebun yang menanam tanaman kelapa sawit dengan mendapatkan bantuan dari pemerintah maupun perusahaan swasta. Bantuan diberikan berupa pinjaman (bisa bersubsidi) untuk membeli bibit, pupuk dan pestisida maupun dalam bentuk bantuan teknis, disamping adanya jaminan kepastian harga.
Pekebun Mandiri. Mereka adalah para pekebun yang memelihara kelapa sawit tanpa bantuan langsung dari pemerintah maupun perusahaan swasta. Para pekebun ini menjual hasil tanamannya pada pabrik pabrik setempat maupun lewat penyedia jasa.




Dilihat dari ciri-ciri kemandirian dan otonomi, maka fenomena pekebun mandiri secara teoritis dapat adalah suatu kontinum. Pada satu titik ekstrim dapat disebut perkebunan rakyat hasil pengembangan perkebunan PIR sebagai titik kontinum yang rendah dari sisi kemandirian dan otonomi. Pada ekstrim lain dapat ditunjukkan perkebunan rakyat yang “murni” memiliki ciri-ciri kemandirian dan otonomi yang lebih luas. Contoh dari pola terakhir ini adalah tembawang dan dahas di provinsi Kalimantan Barat, Sonor di provinsi Sumatera Selatan, serta kebun-kebun rakyat lainnya. Sumber: Surambo, 2009.

Hal ini sangat berbeda dengan petani sawit swadaya. Petani sawit swadaya adalah petani sawit yang tidak terlibat dalam berbagai skema kemitraan yang diperkenalkan oleh pemerintah. Petani sawit swadaya adalah vis a vis dari petani sawit kemitraan. Pekebun mandiri melintas dari petani sawit kemitraan, petani sawit swadaya, sampai pekebun tembawang, dan lain sebagainya. Hal yang penting dilihat dalam pekebun mandiri adalah persoalan kemandirian dan otonomi yang terbagi ke dalam:

1.persoalan kontrol rakyat terhadap aset-asetnya,
2.teknik budidaya dan pengembangannya,
3.kelembagaannya,
4.serta kejelian rakyat dalam melihat pasar
kenario Menuju Pekebun Mandiri

Konsep dan strategi yang dapat dijalankan dalam mengembangkan kebun-kebun mandiri harus didasarkan pada visi-misi yang bersifat normatif-ideologis (konstitusional), dan kondisi ekonomi rakyat pekebun sawit secara empirik (positif). Oleh karena itu, pemahaman terhadap visi-misi konstitusi dalam pengelolaan ekonomi nasional menjadi sangat penting. Selain berlatar belakang ketentuan historis, visi-misi konstitusi ini sangat bernilai dalam memberi arah bagi perkembangan perekonomian, termasuk di dalamnya ekonomi perkebunan (sawit) di masa depan.

Pencitaan ekonomi Indonesia sangat dipengaruhi realitas empiris di mana struktur dan sistem ekonominya yang merupakan warisan kolonialisme 3,5 abad. Dominasi bangsa penjajah (Eropa) yang ditopang kelas perantara terhadap massa rakyat pribumi, mendorong pendiri bangsa untuk memimpikan sebuah transformasi struktural. Baik Sukarno, Hatta, dan Tan Malaka menjadikan tranformasi ini sebagai wujud kemerdekaan sejati, yang tidak hanya berdimensi politik, melainkan juga ekonomi.

Cita-cita inilah yang menjiwai lahirnya Pasal 33 UUD 1945, sebagai landasan pengelolaan ekonomi Indonesia di masa depan, berdasarkan demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan). Dalam demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Konsepsi inilah yang sejalan dengan visi transformasi struktur ekonomi di mana tidak akan ada lagi segelintir elit (asing) yang menguasai mayoritas asset (omset) ekonomi nasional. Mengingat ungkapan Hatta (1960):

“Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia”

Pola perkebunan sawit yang umum berlaku sekarang masih memposisikan pekebun mandiri dalam situasi ketergantungan yang sangat besar terhadap perusahaan. Perusahaan-lah yang menguasai akses distribusi pupuk, modal usaha, penentuan harga TBS, sortir TBS, keahlian manajerial dan pembukuan, dan operasional pabrik pengolahan. Pekebun rakyat yang menjadi plasma umumnya tidak memiliki alternatif selain menerima berbagai pola dan mekanisme produksi dan pembagian hasil yang diajukan perusahaan. Pun di dalam perusahaan, posisi buruh kebun –terlebih yang berstatus harian, lepas, dan kontrak- tidak lebih baik di banding petani di luar perusahaan.

Oleh karena itu, sistem perkebunan baru yang mengacu pada cita-cita konstitusional, yaitu sistem ekonomi kerakyatan diterapkan melalui penguatan posisi pekebun mandiri di hadapan perusahaan. Pada awalnya dimungkinkan membangun kemitraan sejajar dengan perusahaan yang sudah menguasai begitu banyak aset produksi, tetapi perlahan hendaknya diarahkan ke depan pekebun mandiri sebagai determinan dalam pengelolaan usaha perkebunan sawit. Hal ini sejalan dengan arahan Hatta di mana segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya.

Dalam pada itu, aplikasi sistem ekonomi kerakyatan dapat diusahakan melalui dua pola sekaligus, yaitu pola pekerbunan kerakyatan yang memperkuat posisi pekebun mandiri dan yang memperkuat posisi buruh kebun dalam perusahaan. Pola perkebunan kerakyatan yang kedua menitikberatkan pada peningkatan akses dan kontrol buruh kebun dalam pengelolaan perusahaan. Arahnya adalah agar merekalah yang pada akhirnya -20 tahun ke depan- turut memimpin dan menilik (mengawasi) jalannya perusahaan sawit di Indonesia, untuk kemudian menjadi operatorship perusahaan perkebunan yang dipimpin secara umum oleh pekebun mandiri melalui organisasi (serikat) mereka.

Analisis ini lebih menitikberatkan pada aplikasi model perkebunan kerakyatan yang dapat menempatkan pekebun mandiri sawit yang terorganisir sebagai aktor penting dalam tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. Dengan begitu perlahan tapi pasti sistem ekonomi perkebunan sawit bergerak dari corak feodal-kapitalistik menjadi sistem ekonomi kerakyatan. Operasionalisasi sistem ini setidaknya tergambar melalui dua model, yaitu model perkebunan kerakyatan berbasis peranan negara/BUMN dan model perkebunan kerakyatan berbasis koperasi rakyat

Baca Selengkapnya di http://www.sawitwatch.or.id/

Rabu, 15 Juni 2011

ISPO SEMAKIN MENGERDILKAN PETANI KELAPA SAWIT DAN BURUH KEBUN

Siaran Pers : SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT

Menyikapi Pelouncingan ISPO dalam waktu dekat


Medan, 30 Maret 2011. Hadir satu lagi forum sawit berkelanjutan yang di inisiasi oleh pemerintah yang bertujuan sawit lestari yakni Indonesian sustainable palm oil. Tututan global akan pentingnya pembangunan berkelanjutan mendorong pemerintah dan perusahaan kebun untuk memikirkan penyelamatan diri. Mengingat praktek selama ini yang dilakukan hanya gemar melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) dalam perluasan usaha persawitan.

Tuntutan masyarakat selama ini akan kerusakan hutan karena hilangnya hasil hutan untuk penghidupan, skema kemitraan yang tidak adil dengan petani, penggunaan buruh harian lepas di perkebunan besar, hingga perampasan tanah secara paksa milik masyarakat adat, di respon oleh pemerintah dengan mengusahakan produk yang dihasilkan oleh perusahaan dengan beberapa persoalan tersebut adalah lestari dengan mewujudkan ISPO untuk mensertifikasi hasil usaha perkelapasawitan. Ini artinya, bahwa pendekatan pemerintah melakukan sertifikasi pada produk perusahaan skala besar yang memiliki beberapa persoalan tadi dan menjustifikasi sebagai hal yang lestari.

Yang kita kenal selama ini adalah RSPO (Round Table on Sustainable Pal Oil) yang juga merupakan forum multipihak sawit berkelanjutan yang juga bertujuan sawit lestari. Kedua organisasi multipihak ini, memiliki kesamaan yakni tidak mengakomodasi problem structural sistem perkebunan. Kedua organisasi ini tidak mengakomodasi tuntutan rakyat akan pentingnya reformasi agraria di mana tanah dikuasai rakyat.

Perbedaan yang mendasar adalah, jika RSPO di inisiasi oleh pasar dengan tuntutan perbaikan sosial, ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan yang selama ini dipinggirkan oleh usaha perkebunan kelapa sawit skala besar atau yang tidak diatur oleh Negara menjadi hal penting untuk dijadikan pengaturannya. Sementara ISPO mengatur keberlanjutan kelapa sawit untuk lestari dengan menggunakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang selama ini menjadi dasar persoalan petani kelapa sawit.

Beberapa hal penting kebijakan pemerintah yang berkorelasi dengan petani kelapa sawit dan buruh hingga masyarakat adat. Pertama; UU NO 18 tahun 2004 yang lebih banyak mengatur tentang kriminalisasi petani kelapa sawit terutama pasal 21 yang mengatur soal norma kriminalisasi dan 47 sangsi pidana dan mengerdilkan usaha petani kelapa sawit. Selain itu terdapat kebijakan tentang revitalisasi perkebunan no 33/permentan/OT.140/7/2006 yang menerapkan pola manajemen satu atap di mana kebun plasma di kelola seluruhnya oleh perusahaan inti, tidak memberdayakan petani kelapa sawit hingga pada pengaturan skema kredit yang mahal. Begitu jugapun halnya kebijakan tentang sistem penetapan harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit (TBS) No 17/permentan/ot.140/2/2010 yang mengakomodasi pencurian hasil TBS milik petani dengan menerapkan indek K. indek K ini mengatur soal beban yang ditanggung oleh petani untuk operasional pengolahan CPO (Crude Palm Oil) di pabrik yang seharusnya adalah beban pengusaha. Upaya pembatasan pun di atur dengan 20 % untuk petani dan perusahaan inti 80 %. Seharusnya hal ini sudah berubah karena ISPO mengatur yang lebih maju, namun kenyataannya tidak. Di sektor perburuhan pun, ISPO masih menggunakan UU perburuhan yang mengatur buruh harian lepas yang dulu zaman penjajahan adalah kuli contrak.

Dalam prakteknya selama ini, kelompok-kelompok penerima dampak perkebunan skala besar tidak pernah di ajak untuk mengatur hal yang lebih maju untuk prinsip dan kriterianya. Justru sebaliknya menuding adalah bentukan pengusaha perkebunan kelapa sawit dan menguntungkan kelompok tersebut. Selain itu pula terdapat peran sentral Komisi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (KKSBI) yang banyak dipenuhi oleh pengusaha kelapa sawit dalam pengembangan dan pelaksanaan hingga mengelola sertifikasi ISPO.

Beberapa catatan kebijakan tersebut di atas adalah reportase kecil soal keberpihakan pemerintah pada perusahaan kebun skala besar. ISPO yang berniat untuk mendapatkan produk yang sustainable seharusnya membangun prinsip dan criteria yang tidak di atur oleh Negara dengan memajukan petani kelapa sawit dan mensejahterakan buruh hingga tidak ada pembukaan kembali skala besar.

ISPO harus menaikkan derajat petani dan buruh yang selama ini sangat rendah dan dianggap “kuli” perkebunan besar. Jika tidak, ISPO hanya merupakan terusan dari kebijakan pemerintah yang selalu mengerdilkan petani. Tentunya ISPO memiliki kekuatan untuk merubah kebijakan karena kemunculan ISPO di promotori oleh pemerintah melalui departemen pertanian. Jika tidak, maka dapat di bilang ISPO hanya mengakomodir kepentingan pengusaha perkebunan kelapa sawit, kamipun akan menuding ISPO menjustifikasi pengerdilan petani sawit dan buruh serta masyarakat adat dengan sertifikasi.

Dengan munculnya ISPO untuk sustainable perusahaan kelapa sawit, apakah mungkin bisa di wujudkan jika kebijakan pemerintah masih membolehkan penghancuran hutan, melegalkan buruh harian lepas, membolehkan pencurian perusahaan melalui Indek K dalam penentuan harga TBS untuk petani, membolehkan monopoli atas tanah dengan HGU (Hak Guna Usaha) hingga 90 tahun serta mendukung konversi gambut? TENTU TIDAK.

Terkait dengan lonching ISPO dalam waktu dekat, kami meminta kepada KKSBI (Komisi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia) untuk mengatur hal yang lebih maju bagi masa depan petani kelapa sawit dan buruh kebun hingga menghormati wilayah kelola milik masyarakat adat dengan terlebih dahulu mengatur keberlanjutan usahanya. Kamipun mendesak kepada Mentri Pertanian untuk merombak kebijakan-kebijakan yang mengerdilkan petani kelapa sawit. jika tidak, maka ISPO itu pun tidak bermanfaat bagi rakyat. Jika tidak bermanfaat atau tidak menaikkan derajat petani dan buruh, maka sebaiknya pula ISPO ke “laut saja”.

Selasa, 07 Juni 2011

MANAJEMEN SATU ATAP : Produktivitas Menyengsarakan Petani.


“Perluasan pengembangan perkebunan sawit di Indonesia hingga saat ini belum membawa dampak positif bagi masyarakat, bahkan berdampak pada konflik lahan dengan masyarakat adat, egaliter kebutuhan perusahaan terhadap kehidupan buruh dan petani hingga persoalan lingkungan hidup.” kata Mansuestus Darto selaku Koordinator Forum Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS),
“Pemerintah hingga saat ini belum menjadikan petani sebagai subjek penting dalam pengembangan perkebunan. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan (moratorium) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Kamis, 19 Mei 2011, menjadi sangat relevan di tengah banyaknya persoalan dalam perkebunan kelapa sawit saat ini. Dengan moratorium ini akan mengendalikan ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar dan mendorong perkebunan kelapa sawit lebih fokus pada peningkatan produksi Tandan Buah Segara (TBS) kelapa sawit.
Selama dilakukan moratorium, pemerintah pusat dan daerah harus memperbaiki kebijakan yang kontra moratorium untuk selanjutnya dapat di perbaiki memunculkan kebijakan yang berpihak pada buruh kebun, masyarakat / masyarakat adat serta petani kelapa sawit.
Kebijakan moratorium tersebut sangat membantu meminimalisir laju deforestasi hutan alam dan konversi lahan gambut untuk perkebunan yang termasuk dalam agenda pengurangan emisi. Begitu banyak kelompok pengusaha perkebunan yang resisten dengan moratorium karena terancam tidak dapat memperluas kawasan perkebunanannya.
Moratorium tersebut menjadi momok bagi Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Fadhil Hasan menyatakan, beleid ini diskriminatif karena memberikan pengecualian kepada beberapa aktivitas ekonomi, yaitu geothermal, migas, tenaga listrik, lahan untuk padi dan tebu. Lebih lanjut Gapki khawatir moratorium akan memangkas pembukaan lahan sawit baru per tahun menjadi 100.000-200.000 hektare (ha) per tahun, dari biasanya 500.000-600.000 ha.
Oleh karenanya, Pola Manajemen Satu Atap dianggap solusi yang tepat bagi pengusaha untuk mengatasi masalah serta agar dapat mengenjot produktivitas seperti yang diatur melalui, Permentan No. 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan dan Permenkeu No.117/PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan. Tetapi semua itu bukanlah sulusi yang menguntungkan bagi petani plasma kelapa sawit.
Pola manajemen satu atap adalah pengelolaan kebun plasma yang di lakukan oleh perusahaan baik dalam hal menanam, memelihara hingga memanen dan mengambil hasilnya. Petani akan mendapatkan hasil bersih yang diberikan perusahaan. Seolah olah petani plasma sebagai “Bos”.
Tetapi jika di kaji lebih jauh pola manajemen satu atap tidak memberikan kesejahteraan bagi petani plasma. Pola manajemen satu atap di mana kebun plasma di kelola seluruhnya oleh perusahaan inti, tidak memberdayakan petani kelapa sawit hingga pada pengaturan skema kredit yang mahal. Begitu juga halnya kebijakan tentang sistem penetapan harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit (TBS) No 17/permentan/ot.140/2/2010 yang mengakomodasi pencurian hasil TBS milik petani dengan menerapkan indek K. Indek K ini mengatur soal beban yang ditanggung oleh petani untuk operasional pengolahan CPO (Crude Palm Oil) di pabrik yang seharusnya adalah beban pengusaha.
Upaya pembatasan pun di atur dengan 20 % untuk petani dan perusahaan inti 80 %. Sebagai ilustrasi sederhana, jika petani plasma memiliki satu kapling lahan sawit dengan hasil produksi rata 3 ton perbulan dengan asumsi harga TBS Rp 1000,-per Kg, maka hasil dari kebun tersebut sebesar Rp 3000.000,- namun yang diterima petani plasma hanya sebesar Rp 600.000,- sedangkan yang yang diterima perusahaan sebesar Rp 2.400.000,-. Alih-alih petani menjadi “Bos” malah semakin melarat.
Lebih jauh, pola kehidupan petani serta merta berubah menjadi “individualistis” tidak ada lagi yang katanya gotong-royong yang menjadi ciri masyarakat kita. Sebelumnya dengan pola kemitraan antara inti dan plasma yang dinaugi koperasi petani selalu bergotong-royong dalam pekerjaan mulai dari merawat, memanen dan mengambil hasil sehingga pola kekerabatan petani semakin erat. Prinsip serta peran Koperasi serta merta dinililkan oleh pengusaha. Kita sering mendengar slogan “ dari anggota untuk anggota”, sekarang telah berubah menjadi “dari anggota (petani) untuk pengusaha” ironis bukan?
Para petani yang ingin menambah penghasilannya terkadang harus rela menjadi “kuli” di tanah sendiri dengan upah harian berdasarkan hari kerja sanggat kontra dengan Undang-Undang Tenaga Kerja seperti diatur dalam Undang Undang Tenaga Kerja No 13 Tahun 2003 Pasal 88.



Sumber:
http://www.bumn.go.id/ptpn8/publikasi/asosiasi-pengusaha-kelapa-sawit-memprotes-inpres-moratorium-hutan/
Sumber; http://www.medanbisnisdaily.com.
http://jakartapress.com/www.php/news/cat/ekonom

Kamis, 02 Juni 2011

MENINGKATKAN NILAI PERUSAHAAN MELALUI INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI



Latar Belakang
Penggunaan teknologi informasi oleh perusahaan adalah sebuah strategi kompetitif yang nantinya dapat mempengaruhi nilai perusahaan itu sendiri. Namun tidak semua organisasi menggunakannya karna beberapa pertimbangan. Dalam penelitian ini akan menyoroti perusahaan-perusahaan go publik yang terdapat pada bursa efek di Indonesia dan Singapura yang telah menggunakan TI

Tujuan Penelitian
• Apakah ada pengaruh antara investasi TI terhadap nilai perusahaan khususnya perusahaan finance yang go publik di Singapura dan Indonesia
• Apakah terdapat beda nilai antara perusahaan go publik di singapura dan Indonesia

Tinjauan Pustaka
• Teknologi Informasi dan Dunia Usaha
Organisasi mengalami banyak perubahan. Pada era 1970-an Sistem dan Model Manajemen Industrial mengalami masa keemasan. Namun di awal tahun 1990 dunia organisasi mengalami babak baru dalam era informasi dengan adanya Internet yang dapat menghapuskan batasan waktu, ruang bahkan budaya.

• Nilai Perusahaan
Sudarma (2004) menyatakan bahwa nilai perusahaan itu sama dengan nilai pasar saham ditambah dengan nilai pasar utang. Apabila besarnya nilai utang konstan maka setiap peningkatan nilai saham dengan sendirinya akan meningkatkan nilai perusahaan.

Hipotesa
H1 : Terdapat pengaruh investasi TI terhadap nilai perusahaan finance yang go publik di Bursa Efk Singapura dan Indonesia
H2 : Terdapat beda nilai pada perusahaan finance di Bursa Efek Singapura dan Indonesia

Desain Penelitian
Populasi adalah 51 perusahaan finance yang go publik di Bursa Efek Indonesia dan 31 perusahaan finance yang go publik di Bursa Efek Singapura. Variabel bebas terdiri dari Modal TI, Infrastruktur TI dan modal TI per pegawai. Variabel terikatnya adalah Nilai perusahaan.



Hasil
Untuk hipotesis pertama yang menyebutkan bahwa Investasi TI (modal TI, infrastruktur dan modal TI per pegawai) pada perusahaan di Singapura menunjukkan hasil nilai signifikasi yang lebih kecil dari alpha. Jadi untuk Singapura hipotesis pertama dapat diterima. Sedang untuk Indonesia hasil Sinifikasi lebih besar dari alpha sehingga untuk Indonesia Hipotesis pertama tidak dapat diterima atau tidak terbukti.
Untuk Hipotesis kedua yang menyabutkan bahwa terdapat perbedaan nilai antara perusahaan di Simgapura dan Indonesia, dari hasil analisis diketahui nilai signifikan lebih kecil dari alpha sehingga Hipotesis kedua dapat diterima.

Kesimpulan
Secara Umum Investasi TI di perusahaan finance yang go publik di Singapura tidak berpengaruh signifikan pada perusahaan finance yang go publik di Indonesia. Dan terdapat beda nilai antara perusahaan finance yang go publik di Singapura dan Indonesia.
STRUKTUR CORPORATE GOVERNANCE DAN KETEPATAN WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN : STUDI PADA PERUSAHAAN JASA DI BEI



Latar Belakang
Masalah Corporate Governance menjadi pusat perhatian ketika sejumlah negara di Asia terkena krisis finansial periode 1997-1998. Kelemahan Corporate Governance ditengarai sebagai faktor penyebab memburuknya creative accounting, kebangkrutan dalam skala yang besar, penyalahgunaan dana stakeholder oleh para manajer, terbatasnya peran auditor dan tidak jelasnya kaitan antara kompensasi eksekutif dengan kinerja perusahaan, manajer, dan akuisisi yang menyebabkan kerugian secara keseluruhan (Keasey dan Wright, 1997). Studi mengenai ketepatan waktu penyampaian laporan telah banyak dilakukan tapi hanya menganalisis kinerja keuangan, baik berdasarkan nilai buku maupun maupun nilai pasar. Penelitian ini menggabungkan penelitian sebelumnya serta melengkapinya dengan yang belum dilakukan yaitu struktur corporate governance, kinerja keuangan serta ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan.

Tujuan Penelitian
• Untuk menganalisis pengaruh struktur corporate governance terhadap ketepatan penyampaian laporan keuangan.
• Untuk menganalisis pengaruh kinerja keuangan perusahaan terhadap ketepatan penyampaian laporan keuangan.
• Untuk menganalisis efek moderasi dari struktur corporate governance terhadap hubungan antara kinerja keuangan perusahaan terhadap ketepatan penyampaian laporan keuangan.

Tinjauan Pustaka
• Corporate Governance
Shleifer dan Vishny (1997) mengemukakan bahwa corporate governance adalah cara atau mekanisme untuk meyakinkan pemilik modal dalam memperoleh return yang sesuai dengan investasi yang telah ditanamkan.
• Ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan
Ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan merupakan unsur penting dalam pengambilan keputusan investasi. Jika terjadi penundaan dalam penyampaian laporan keuangan, maka informasi yang diberikan akan kehilangan relevansinya.

Hipotesis
Ho : Model yang dihipotesiskan fit dengan data
Ha : Model yang dihipotesiskan tidak fit dengan data



Metode Penelitian
Pemilihan sampel dilakukan dengan purposive. Populasi adalah semua perusahaan jasa yang tercatat di BEI tahun 1999-2004. Definisi Operasional masing-masing variabel adalah sbb:

Variabel Independen :
• Struktur kepemilikan
Struktur kepemilikan yang diteliti adalah proporsi kepemilikan institusi dalam bentuk PT Domestik.
• Kinerja keuangan
Kinerja keuangan yang akan diukur dengan laba bersih setelah pajak (EAT) dan rasio keuangan perusahaan.

Variabel dependen :
• Ketepatan waktu penyampaian
Ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan menggunakan variabel dumi, 1 untuk perusahaan yang tidak terlambat menyampaikan laporan (maksimal 120 hari sejak tanggal 31 desember) dan 0 sebaliknya.

Variabel moderasi :
• Variabel kontrol
Variabel kontrol yang digunakan adalah Leverage (rasio antara hutang dengan total aset) ukuran perubahan (size) dengan produksi total aset dan total penjualan, dan pertumbuhan penjualan (sales growth).

Hasil
Model yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ada dua yaitu : Model tanpa variabel interaksi (model 3), dan model dengan variabel interaksi (model 4).
Dari hasil goodness of fit test untuk model (3) menunjukkan nilai statistik chi-square 8,56 dengan probabilitas signifikansi 0,38 yang nilainya jauh di atas 0.05. dengan demikian Ho diterima (model yang dihipotesiskan fit dengan data). Sedangkan untuk model (4) hasil goodness of fit test 13,63% dengan probabilitas signifikansi 0,09 yang nilainya di atas 0,05. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model (4) dapat diterima karna probabilitasnya diatas 0,05.
Nilai estimasi yang benar dan salah diuji dengan tabel klasifikasi 2x2. Hasil analisis menunjukkan secara keseluruhan presentase ketepatan prediksi untuk model (3) adalah sebesar 70,77 %. Sedangkan untuk model (4) Hasil analisis menunjukkan secara keseluruhan presentase ketepatan prediksi 74,62%. Ketepatan model prediksi model (4) lebih baik dibanding dengan model (3) karna presentase model (4) sebesar 74,62% dibanding model (3) 70,77%.




Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur corporate governance berpengaruh terhadap ketepatan penyampaian laporan keuangan pada perusahaan jasa yang tercatat di BEI. Kinerja keuangan berpengaruh terhadap ketepatan penyampaian laporan keuangan pada perusahaan jasa yang tercatat di BEI. Variabel ukuran kinerja yang berfungsi sebagai variabel kontrol yaitu pertumbuhan penjualan dan penjualan. Ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi pertumbuhan penjualan dan penjualan maka semakin tinggi pula probabilitas ketepatan waktu dalam penyampaian perusahaan jasa di BEI. Ada satu efek moderasi yang signifikan secara statistik, ini mengindikasikan bahwa struktur corporate governance memoderasi hubungan antara kinerja perusahaan dengan ketepatan penyampaian laporan keuangan.

Saran
Penelitian ini mempunyai keterbatasan bahwa hanya menggunakan data perusahaan jasa serta hanya menggunakan struktur GCG. Saran untuk penelitian berikutnya bisa menambah analisis pada perusahaan diluar industri jasa serta menambah analisis dengan menggunakan indeks GCG.