Rabu, 15 Juni 2011

ISPO SEMAKIN MENGERDILKAN PETANI KELAPA SAWIT DAN BURUH KEBUN

Siaran Pers : SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT

Menyikapi Pelouncingan ISPO dalam waktu dekat


Medan, 30 Maret 2011. Hadir satu lagi forum sawit berkelanjutan yang di inisiasi oleh pemerintah yang bertujuan sawit lestari yakni Indonesian sustainable palm oil. Tututan global akan pentingnya pembangunan berkelanjutan mendorong pemerintah dan perusahaan kebun untuk memikirkan penyelamatan diri. Mengingat praktek selama ini yang dilakukan hanya gemar melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) dalam perluasan usaha persawitan.

Tuntutan masyarakat selama ini akan kerusakan hutan karena hilangnya hasil hutan untuk penghidupan, skema kemitraan yang tidak adil dengan petani, penggunaan buruh harian lepas di perkebunan besar, hingga perampasan tanah secara paksa milik masyarakat adat, di respon oleh pemerintah dengan mengusahakan produk yang dihasilkan oleh perusahaan dengan beberapa persoalan tersebut adalah lestari dengan mewujudkan ISPO untuk mensertifikasi hasil usaha perkelapasawitan. Ini artinya, bahwa pendekatan pemerintah melakukan sertifikasi pada produk perusahaan skala besar yang memiliki beberapa persoalan tadi dan menjustifikasi sebagai hal yang lestari.

Yang kita kenal selama ini adalah RSPO (Round Table on Sustainable Pal Oil) yang juga merupakan forum multipihak sawit berkelanjutan yang juga bertujuan sawit lestari. Kedua organisasi multipihak ini, memiliki kesamaan yakni tidak mengakomodasi problem structural sistem perkebunan. Kedua organisasi ini tidak mengakomodasi tuntutan rakyat akan pentingnya reformasi agraria di mana tanah dikuasai rakyat.

Perbedaan yang mendasar adalah, jika RSPO di inisiasi oleh pasar dengan tuntutan perbaikan sosial, ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan yang selama ini dipinggirkan oleh usaha perkebunan kelapa sawit skala besar atau yang tidak diatur oleh Negara menjadi hal penting untuk dijadikan pengaturannya. Sementara ISPO mengatur keberlanjutan kelapa sawit untuk lestari dengan menggunakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang selama ini menjadi dasar persoalan petani kelapa sawit.

Beberapa hal penting kebijakan pemerintah yang berkorelasi dengan petani kelapa sawit dan buruh hingga masyarakat adat. Pertama; UU NO 18 tahun 2004 yang lebih banyak mengatur tentang kriminalisasi petani kelapa sawit terutama pasal 21 yang mengatur soal norma kriminalisasi dan 47 sangsi pidana dan mengerdilkan usaha petani kelapa sawit. Selain itu terdapat kebijakan tentang revitalisasi perkebunan no 33/permentan/OT.140/7/2006 yang menerapkan pola manajemen satu atap di mana kebun plasma di kelola seluruhnya oleh perusahaan inti, tidak memberdayakan petani kelapa sawit hingga pada pengaturan skema kredit yang mahal. Begitu jugapun halnya kebijakan tentang sistem penetapan harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit (TBS) No 17/permentan/ot.140/2/2010 yang mengakomodasi pencurian hasil TBS milik petani dengan menerapkan indek K. indek K ini mengatur soal beban yang ditanggung oleh petani untuk operasional pengolahan CPO (Crude Palm Oil) di pabrik yang seharusnya adalah beban pengusaha. Upaya pembatasan pun di atur dengan 20 % untuk petani dan perusahaan inti 80 %. Seharusnya hal ini sudah berubah karena ISPO mengatur yang lebih maju, namun kenyataannya tidak. Di sektor perburuhan pun, ISPO masih menggunakan UU perburuhan yang mengatur buruh harian lepas yang dulu zaman penjajahan adalah kuli contrak.

Dalam prakteknya selama ini, kelompok-kelompok penerima dampak perkebunan skala besar tidak pernah di ajak untuk mengatur hal yang lebih maju untuk prinsip dan kriterianya. Justru sebaliknya menuding adalah bentukan pengusaha perkebunan kelapa sawit dan menguntungkan kelompok tersebut. Selain itu pula terdapat peran sentral Komisi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (KKSBI) yang banyak dipenuhi oleh pengusaha kelapa sawit dalam pengembangan dan pelaksanaan hingga mengelola sertifikasi ISPO.

Beberapa catatan kebijakan tersebut di atas adalah reportase kecil soal keberpihakan pemerintah pada perusahaan kebun skala besar. ISPO yang berniat untuk mendapatkan produk yang sustainable seharusnya membangun prinsip dan criteria yang tidak di atur oleh Negara dengan memajukan petani kelapa sawit dan mensejahterakan buruh hingga tidak ada pembukaan kembali skala besar.

ISPO harus menaikkan derajat petani dan buruh yang selama ini sangat rendah dan dianggap “kuli” perkebunan besar. Jika tidak, ISPO hanya merupakan terusan dari kebijakan pemerintah yang selalu mengerdilkan petani. Tentunya ISPO memiliki kekuatan untuk merubah kebijakan karena kemunculan ISPO di promotori oleh pemerintah melalui departemen pertanian. Jika tidak, maka dapat di bilang ISPO hanya mengakomodir kepentingan pengusaha perkebunan kelapa sawit, kamipun akan menuding ISPO menjustifikasi pengerdilan petani sawit dan buruh serta masyarakat adat dengan sertifikasi.

Dengan munculnya ISPO untuk sustainable perusahaan kelapa sawit, apakah mungkin bisa di wujudkan jika kebijakan pemerintah masih membolehkan penghancuran hutan, melegalkan buruh harian lepas, membolehkan pencurian perusahaan melalui Indek K dalam penentuan harga TBS untuk petani, membolehkan monopoli atas tanah dengan HGU (Hak Guna Usaha) hingga 90 tahun serta mendukung konversi gambut? TENTU TIDAK.

Terkait dengan lonching ISPO dalam waktu dekat, kami meminta kepada KKSBI (Komisi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia) untuk mengatur hal yang lebih maju bagi masa depan petani kelapa sawit dan buruh kebun hingga menghormati wilayah kelola milik masyarakat adat dengan terlebih dahulu mengatur keberlanjutan usahanya. Kamipun mendesak kepada Mentri Pertanian untuk merombak kebijakan-kebijakan yang mengerdilkan petani kelapa sawit. jika tidak, maka ISPO itu pun tidak bermanfaat bagi rakyat. Jika tidak bermanfaat atau tidak menaikkan derajat petani dan buruh, maka sebaiknya pula ISPO ke “laut saja”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar